28 Februari 2009
Akhir bulan. Dengan tanpa menghasilkan apa2…
Aku kurang konsisten dengn targetanku. Hidupku juga gak imbang.
Skripsi???sudah sebulan ini kutinggalkan.
Dengan tanpa menghasilkan apa pun. Padahal ibuku sudah mewanti-wanti, ”skripsinya sampai mana???agustus harus sudah selesai ya”
Yups, targetanku sebelum agustus ini kelar.
Malangnya skripsiku terhenti karena masalah sepele. ‘Bagaimana nguji Op-Amp ku pake Osiloskop’. Awalnya aku menganggapnya enteng. Cuma ngukur tegangannya saja kan!!!Habis data kudapatkan, aku sodorkan ke Pak Set (dosen pembimbingku yang buuuuaiiikkk, sampai aku malu klo ketemu bapaknya, habisnya slalu ditanya “alatnya gimana mbak!!!”). pak Set hanya liat sekilas, dia Tanya padaku “frekuensinya gimana mbak???Hubungan frekuensi ma tegangan ACnya gimana???Apa efeknya???Gak bias ngukur AC pake Voltmeter”. Duueng!!pertanyaan yang gak tak sangka. Akhirnya aku janji ke Bapaknya, untuk ngadep suatu hari. Suatu hari….yang sampai sekarang belum tak penuhin.
Semester 10!!klo di’itung2 lama juga ya!Hampir lima tahun aku kuliah. Rasanya baru kemarin aku maba yang culun. Menginjakkan kaki di UB. Like ordinary new comer, just say “wah”. Sebuah hidup mulai terbuka. Aku menulisi lembaran itu, selembar demi selembar. Sampai aku tersadar, kalau aku ada di detik-detik halaman terakhir. Aku tersadar, ternyata perjalanan hampir 5 tahun telah kulalui dengan sekejab.
Awal maba, aku sudah bercita2 jadi aktivis kampus. Terkesan dengan mahasiswa yang suka Demo. “Kayaknya keren ya pakai almamater”.
Dipertengahan kuliah, aku putuskan konsen di Himpunan Fisika. Karna hanya tingkat jurusan, jadi tak terlalu dinamis.
Baru di akhir kuliah, tepatnya dua tahunan yang lalu. Aku gabung dengan Karate. Sesuatu hal yang baru. Aku merasakan inilah tempatku. Aku dididik tuk jadi seorang ksatria yang bersemangad bushido.Bagaimana kita harus mengontrol emosi kita. Meresapi spiritual dan filosofinya. Bersabar dengan rasa sakit dan capek Kihonnya. Terengah-engah oleh gerakan-gerakan Kata. Ato mencoba mengontrol pukulanku dan sigap dengan Kumite lawan. Aku menikmatinya. Setiap turun-naiknya dadaku apalagi ceceran keringat, hal yang biasa. Aku menikmati karate. Walau sekarang aku memutuskan untuk keluar. Dengan sebuah alasan yang rasanya ‘sakit’. Memiliki kehilangan.
Bersamaan dengan karate, setahun yang lalu. Aku bergabung pula dengan Pecinta Alam. Tapi PA yang tak ikuti bukan PA kampus. AMC, sebuah organisasi PA di Malang. Disini aku mendapatkan pelajaran baru yang tak kupikirkan sebelumnya. Navigasi, mountainerring, SOS, SAR, radio, HT, first aid, pakaian standart pendaki, Leave no Trace, etika pendaki, tali temali dan banyak hal cerita pendakian.
Berawal dari ikut PA ini, aku mulai berfikir tentang hidup bebas. Semua orang punya mimpi. Semua orang punya keinginan. Seperti aku suka gunung. Maka aku akan mendaki. Menikmati setiap step-step pendakiannya, dan suatu saat kepingan-kepingan itu menjadi susunan journey hidup yang indah. “A journey start from a single step” itu Eiger yang bilang.
Karena itu kalau aku bertanya, apa yang akan tak lakukan sekarang????Skripsi, pastinya. Agustus ini harus sudah kelar. Walaupun 2 bulan ini sudah tak campakkan.
Entahlah, kenapa yang tak pikirkan hanyalah “aku ingin mendaki”. Tak ada puncak yang lebih tinggi, saat kakiku ini menginjak Puncaknya. Menyurusi jurang-jurang yang menganga. Menyibak rerumputan sabana. Menekuri terjalan batu yang menyakitkan. Menembus kabut tebalnya. Menikmati tusukan dingin yang mengilu. Mencintai kesunyian dan damainya. Menyusun mimpi di semburat bintang-bintangnya. Dan satu hal yang lebih tak rasionalkan lagi, kenapa aku suka gunung adalah aku ingin melupakan kehidupan nyata. Kehidupan yang ada dan rasa sakitnya. Cukuplah aku mengawang di negeri atas awan. Menjadi seorang pengejar matahari (sun runner).
Kalau seandainya aku bisa mendaki terus dan terus, pasti itu akan aku lakukan. Tapi nyatanya tidak. Itu terlalu pengecut bagiku. Aku ingat sekali dengan film “into the wild”. Sebuah kisah nyata, yang terjadi pada seorang pemuda. Dia mengejar kehidupan liar di Alaska. Meninggalkan semuanya. Keluarga, uang, mobil, pekerjaan….Hanya karena membenci dengan kekecewaannya denga keluarga. Dia terus mengelana. Dari satu tempat ke tempat lainnya. Hanya untuk ke Alaska. Hal yang membuatku miris adalah, ketika dia menemukan jawaban tentang sebuah makna kebahagiaan “Kebahagiaan itu ada ketika ia bisa di bagi”. Keluarga. Sebuah kata mujarab dan hal yang paling penting, yang selama ini dia benci. Rasa kehilangan itu pernah ada, karena kita pernah memiliki. Ketika pemuda itu berusaha untuk kembali ke keluarganya, ternyata Alaska yang liar tak semudah itu mengijinkan.
Terlalu sakit untuk dirasakan, ketika kita menyadari ternyata hal yang kita cintai sebenarnya adalah hal yang ternya kita benci selama ini. Dan ketika kita ingin menggapainya. Sudah tak ada kesempatan lagi.
Aku tak ingin akhir hidupku seperti film itu. Tak ingin. Walaupun yang tak pikirkan hanya mendaki. Walaupun tiap mendaki aku harus gerilnya agak gak ketahuan ibukku. Yang terkadang pula aku sering beradu argumen dengan orang tua ku, tentang pendakianku. Bapak Ibu, aku hanya ingin kalain percaya pada anakmu. Aku akan tetap memegang prinsipku, norma dan etika adalah hal yang wajib bagiku. Di alam yang liar.
Ini masaku untuk mendaki, semasa kuliah. Batasku Cuma Agustus nanti. Saat aku sudah di wisuda dan “Mahameru” dengan Roro Jongringnya sudah aku sapa. Aku pasti akan berhenti. Berhenti dari mendaki.
Dan menjalani, fase hidup yang lain. Sebuat “step” hidup yang akan terus berubah.
Bekerja, aku ingin berbakti dengan ortuku. Membalas semua hal yang pernah dikorbankannya buat anaknya.
Menikah, menyempurnakan setengah agama. Walau pun itu bukan hal yang gampang. Hidup dengan laki-laki yang tak pernah kenal. Tapi memang harus aku lakukan. Berbakti pada suami. Saling berbagi. Saling mengerti. Saling menerima semua perbedaan. Dan bertanggung jawab dengan komitment yang terikat suci di Penikahan.
Mendidik Anak. Anak adalah sebuah medan baru bagi kita. Dimana sebuah harapan dan mimpi kita titipkan di pundak-pundak mereka. Menyakinkan bahwa kita tempat sandaran yang kuat bagi mereka.
……
…………….
Semua sesi hidup punya fasenya. Punya waktunya.
Karena semua hal dalam hidup ini pasti akan berubah
Dimensi ruang dan waktu akan semakin terkembang (“big bang” yang bilang)
Yang menjadikan matahari, bulan, bintang, awan, langit, bumi tidak pernah sama lagi.
Dan yang menjadikan para pelakunya. Tidak akan pernah sama lagi.
Semuanya hanya datang dan pergi
Seperti Aku dan Kau,
Datang untuk menghilang
Lahir untuk mati
Karena memang tak ada yang abadi
Yang abadi, hanyalah Pencipta dunia ini
No comments:
Post a Comment